Saturday, September 1, 2007

Sebuah Jawaban untuk hati kecilku..

“Kenapa sih mau jadi ketua DKM?”
“Amanahmu yang lain ditelantarkan gitu aja?”
“Udah enak ya sekarang di Kampus?”
“Jadi kuliah mau di nomor dua kan?”

Beberapa pertanyaan itu sempat mampir ke telinga kananku. Terus begitu saja berlalu di telinga kiriku. Sebenarnya, bukannya tak sadar atau memang diacuhkan. Tapi beberapa pertanyaan itu terkadang melemahkanku. Tapi di saat yang lain juga menggugah hati untuk terus mencari jawabannya.

Terkadang juga muncul syndrome ”ku tahu yang ku mau”. Saat hati tiba-tiba membeku. Mencari jawaban, sebenarnya apa sih maunya hati kecil ini. Jangan-jangan selama ini hanya ngikut-ngikut. Hanya menduplikasi keinginan orang lain. Dan bergerak hanya untuk kemauan orang lain. Hanya ”ngekor” sama teman. Hanya ”ngikut” di manapun ditempatkan. Saking seringnya, sampai saat bertanya pada hati kecil, yang muncul hanya jawaban orang lain yang diulang dengan kosa kata yang sedikit berbeda.

Sungguh, diri ini begitu lemah. Tapi, Allah Maka Kuat dan memberikan kekuatan pada orang yang Ia kehendaki. Saat futur melanda, Al-Qur’an lah penawar yang mulia.

“Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin, baik diri maupun harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah, sehingga mereka membunuh atau terbunuh, (sebagai) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al-Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya selain Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan demikian itulah kemenangan yang agung.” (At-Taubah 111)

Allah telah melakukan perniagaan yang dahsyat dengan jiwa ini.
Juga dengan harta dan raga. Menjadi jundullah dengan bayaran yang tak murah.
Dan itu hanya bisa diraih dengan tadhiyah yang juga tak murah.
Bukan hanya harta dan raga. Jiwa ini, hati kecil ini, kecenderungan hati ini telah tergadaikan di jalan-Nya. Telah terikat dengan transaksi yang tak usah diragukan lagi kepastiannya.

Ketika yang lain mundur tak beraturan, jundurrahman maju ke hadapan. Tak pernah terpikir untuk melangkah ke belakang dan berdiam. Pilihannya hanya dua: hidup mulia atau syahid bersama bidadari surga. Tetap berangkat walau berat. Tetap bergerak dan mensabar-sabarkan hati. Memahamkan hati dalam segala kondisi. Membiasakan hati untuk memahami dari pada ingin dipahami. Dan itu semua, untuk sebuah janji agung yang tinggi.

Setelah semua keluh kesah. Diantara kesusahan dan kesedihan yang silih berganti. Dibawah celaan orang-orang yang melemahkan.
Kebahagiaan itu tetap terpatri kekal di hati. Sebagai sebuah bukti akan janji sebuah kemenangan yang sebenarnya. Kemenangan yang abadi.

Dan, dengan penuh izzah, kan kuwajab..
”Allah telah membeliku dengan surga,
ada yang bisa bayar lebih tinggi?”

Wallahu’alam bishowwab.
Semoga bisa memberi inspirasi bagi hati-hati yang masih butuh kompromi.

~hafizhurrahman.
Tidak ada seorang-pun yang masuk surga dengan amalnya,
semuanya hanya karena rahmat dan maghfirah-Nya.

Antara wortel, telur, dan kopi

Dalam suatu forum yang pernah saya ikuti, keadaan menjadi memanas. Walaupun tempratur ruangan tetap sama, tapi permasalahan yang berat dan tak kunjung usailah yang membuat hampir setiap orang tak lagi berfikir dengan hati yang dingin. Tak ada lagi gelak tawa yang biasanya muncul di sela-sela bincangan serius. Entah mengapa, tembok-tembok seolah bergerak merapat, papan tulis terasa retak berjatuhan, dan tulisan-tulisan agenda rapat menari-nari mengahantui kedua mata kami. Simpelnya, semua orang sudah sangat tak betah lagi harus bertahan disana. Sampai seorang teman menyampaikan sebuah cerita unik dalam sesi tausyiah.

Ia bercerita tentang pengalamannya berada di dapur “kehidupan” bersama seorang sahabatnya. Di meja makan, ada sebuah wortel, sebuah telur, dan bubuk kopi dalam sebuah cangkir. Lalu masing-masing di masukan ke dalam gelas kaca. Sahabatnya lalu memasukkan gelas pertama yang berisi wortel dengan sebuah air panas yang mendidih. Sahabatnya lalu berkata, “Lihatlah wortel yang keras tadi, sekarang telah menjadi lembut, lembek, dan rapuh.” Berikutnya, telur mentah dipecahkan dari cangkang telur dan isinya ditumpahkan ke dalam gelas. Sama dengan yang pertama, air panas yang mendidih kemudian dimasukan ke dalam gelas. “Telur yang tadinya begitu encer dan halus, telah menjadi kaku, keras, dan berbentuk”, lanjutnya. Kemudian, yang terakhir bubuk kopi. Setelah dimasukan tentu saja air panas yang awalnya jernih telah menjadi kopi hangat sekarang. “Kopi tadi telah mewarnai airnya, dan harum sekali bukan?”

Selanjutnya sahabatnya terduduk dan menceritakan hikmah yang begitu indah di balik wortel, telur, dan kopi. Banyak orang yang bersikap seperti wortel tadi. Pada awalnya mereka adalah sosok-sosok yang terlihat kuat dan begitu tegar. Tapi, ketika masalah datang menerpanya, ia berubah menjadi sosok yang rapuh dan begitu lemah. Mendramatisir masalahnya dan melarutkan dirinya dalam beban-beban yang terus menggelantunginya. Akhirnya masalah yang begitu besar itu menjadikannya begitu kecil dan tak berdaya.

Ada beberapa orang yang bersikap seperti telur. Pada mulanya mereka adalah pribadi yang terbuka dan lihai. Bisa melewati batu-batu cobaan dengan bergerak cepat menghindarinya. Tapi, ketika masalah besar yang tak bisa ia hindari menerjang, ia berubah. Menjadi sosok keras dan tertutup. Ia membatasi dirinya dalam wilayah amannya. Membuat batas tegas antara dirinya dengan wilayah abu-abu yang mungkin membawanya kembali pada masalah besarnya. Akhirnya masalah yang begitu besar itu menjadikannya rigid dan tak berkembang.

Tapi ada sedikit orang yang bersikap seperti kopi. Mereka memang berubah, sama seperti yang lain. Tapi, permasalahan yang terus datang mematangkan kebijaksanaanya. Mewarnai permasalahannya dengan berbagai kebaikan yang ia miliki. Menjadikan masalahnya sebuah peluang untuk melejitkan potensinya. Semakin banyak masalah, semakin banyak solusi yang ia keluarkan. Masalah yang begitu besar telah membuatnya menjadi pribadi yang begitu besar.

Setelahnya, suasana syuro pun berubah. Tercetus harapan dari setiap diri untuk belajar dari sang kopi. Menjadi kader-kader tangguh dalam benaman masalah yang terus mengalir. Sebijak Abu Bakar, Setegas Umar bin Khaththab, Setabah Ustman bin Affan, Secerdas Ali bin Abi thalib, Setegar Bilal bin Rabbah, Semantap Mushab bin Umair, dan seberani Khalid bin Walid. Semoga.

~hafizhurrahman.

Berawal dari Duri

Suatu ketika di sebuah negeri antah berantah. Seorang raja yang sangat dihormati oleh seluruh penduduk di negerinya sedang berjalan-jalan bersama para ajudannya. Enggak tanggung-tanggung, beliau mengajak seluruh pasukannya hanya untuk JJS di padang pasir yang tandus. (JJS: Jalan-jalan sore.red). Al Kisah, pada masa itu semua orang berjalan dengan bertelanjang kaki. Setelah beberapa lama berjalan, sang Raja berteriak kesakitan.

“Aduh!! Pengawal!! Mengapa kaki ku sakit sekali?”
Lalu pengawal yang bijak pun menjawab,

“Di hutan ini banyak duri baginda. Dan nampaknya salah satunya telah tertancap dalam kaki paduka.” Sang Raja terlihat geram. Tapi, ia berusaha agar terlihat lebih sabar di depan para pasukannya. Lalu tercetuslah ide mulia itu.
”Pasukanku. Kumpulkan seluruh bulu dan kain yang ada di kerajaan kita, lalu selimuti padang pasir ini dengan bulu dan kain itu. Agar kelak, saya tidak lagi merasa kesakitan jika melewati padang pasir ini. Begitu juga semua orang yang melaluinya”


Serentak seluruh pasukan mulai bergerak. Tapi, tiba-tiba pengawal yang bijak berucap.
”Maafkan saya, baginda. Tapi saya punya usul lebih mudah untuk dilakukan.” Karena usulan itu datang dari pengawal yang paling ia anggap bijak, maka Sang Raja pun mengabulkannya.
”Bagaimana kalau, bulu dan kain itu diikatkan saja pada kaki paduka. Sehingga kemanapun paduka berjalan akan tetap aman.”




Usul yang cerdas itu pun dikabulkan oleh Sang Raja. Kemudian, alas bulu dan kain itu juga dipakai oleh para pengawal dan seluruh rakyat di negerinya. Dan sekarang hampir seluruh dunia mengenakannya sebagai sepatu. Alas kaki.

Luar biasa bukan. Bagaimana sebuah himmah aliyyah (Cita-cita yang tinggi) dapat bermula dari hal sederhana, ifda binnafsik (memulai dari diri sendiri). Jika kita ingin merubah dunia, cara termudah memulainya adalah dengan merubah diri kita sendiri. Dalam tarbiyah kita mengenal ishlahun Nafs. Memperbaiki diri sendiri dengan capaian muwashafat. Dari sana lah entry point kita untuk merubah dunia. Jangan pernah remehkan apa yang terjadi pada diri kita. Saat kita mengisi hari-hari kita dengan tilawah, qiyam, shaum, dan dzikir, maka akan semakin banyak orang di dunia yang melakukannya. Kita adalah bagian dari dunia. Kita adalah bagian dari perubahan itu. Kita adalah bagian dari para perancang peradaban yang berkeimanan itu. InsyaAllah.

~hafizhurrahman.
Diambil dari sebuah cerita menarik yang disampaikan seorang guru dari Sudan:
Prof. Hasan Bella- Semoga Allah selalu Menuntun dan Menambah ilmu-nya.

Nb:
Terbayang kan kalau Sang Raja dan pengawal yang bijak tadi adalah seorang muslim? Seluruh manfaat yang ia berikan akan berbuah pahala yang besar sekali. Ya..andaikan saja cerita ini benar adanya.

Beruntunglah, wahai ghuroba!

Ghuroba.
Beruntunglah engkau wahai ghuroba!

Saat dunia mulai sesak dengan para koruptor. Saat generasi muda mulai hilang dengan narkoba dan terpukau dunia. Saat pemimpin tak lagi menangisi nasib rakyatnya. Kau mulai mengajak manusia, membina mereka, dan merawat benih-benih keimanan mereka dalam tarbiyah. Mengajarkan mereka menjadi birokrat yang jujur. Mengajak pemuda menjadi generasi pendobrak kedzaliman. Dan merawat pemimpin-pemimpin yang adil untuk mengurusi dunia.

Saat banyak orang terlelap nyenyak dalam buaian selimut, kau berdiri tegar dalam syahdunya qiyamulail. Saat gosip, obrolan sia-sia, dan ghibah merebak, kau hiasi lisanmu dengan tilawah dan al-ma’sturat. Saat masjid tak lagi ramai, kau kembali dengan majelis ilmu dan dzikir di dalamnya.

Orang yang senantiasa berbuat perbaikan,
saat yang lain berbuat kerusakan.
Beruntunglah engkau wahai ghuroba!

Orang yang senantiasa bertambah iman,
saat yang lain sedang turun.
Beruntunglah engkau wahai ghuroba!

Orang yang senantiasa menjunjung persatuan,
saat yang lain berpecah belah.
Beruntunglah engkau wahai ghuroba!

Orang shalih yang sedikit,
diantara banyaknya orang yang tak taat.
Beruntunglah engkau wahai ghuroba!

Orang yang senantiasa menghidupkan sunnah
dan mengajarkannya pada manusia.
Beruntunglah engkau wahai ghuroba!

Sahabat, sudahkah kita menjadi ghuroba?
Seperti yang rasulullah salallahu alaihi wassalam sampaikan?
Sungguh, Beruntunglah engkau wahai ghuroba!


~hafizhurrahman.