
Saya kemudian berfikir, bertanya pada beberapa orang, dan mencari referensi.. ada celetukan, kalau fenomena ini terjadi karena dokter kurang bergaul dengan lingkungan diluar. Karena kesibukan pekerjaan juga studi kedokteran yang lama (4 tahun sarjana kedokteran plus 2 tahun kepaniteraan,magang,internship..belum lagi kalau melanjutkan ke pendidikan spesialis tambah 3-5 tahun lagi) jadi dokter lebih sering bertemu dengan orang yang ada di dunianya saja. Dengan kata lain: kuper, kurung batokeun. Syukurlah redaksi sumpah dokter telah diamandemen. Jika sumpah dokter yang lama masih berlaku, akan banyak sekali dokter yang melanggarnya ^^ “akan memperlakukan teman sejawat seperti saudara kandung”
Menikah dengan sesama dokter, membuat pasangan lebih mengerti dengan berbagai hal yang dihadapi oleh seorang dokter. Tingginya mobilitas di luar rumah membuat intensitas pertemuan yang jarang dengan keluarga. Terlebih dokter-dokter yang harus siap siaga selama 24 jam. Atau bagi dokter yang sedang menempuh studi residensi, lengkap dengan tingkat stress yang tinggi setiap harinya. Untuk keadaan-keadaan seperti ini, dokter akan lebih nyaman jika pasangannya juga dapat mengerti hal-hal yang dialaminya. Yang akan didapatkan jika pasangannya juga seorang dokter, sehingga bisa lebih faham dan mengerti tentang konsekuensi dari profesi pasangannya itu. Dengan memiliki pasangan yang berprofesi sama, dokter juga akan berbicara dalam bahasa yang sama. Mungkin kalau bisa digambarkan dalam bentuk dialog unik kurang lebih seperti ini.
Dokter: GUBRAK..”Ggrrr…”
Nah, sederhananya, komunikasi setidaknya akan lebih mudah kalau dokter menikah dengan sesamanya. Dengan lancarnya komunikasi, mereka bisa saling berbagi tentang permasalahan pekerjaan juga kehidupan keluarga sehingga bisa saling menguatkan. Hal ini penting untuk membina pernikahan sesama dokter, kata Wayne M Sotile, psikiater yang sering menangani permasalah pernikahan dokter di Amerika Serikat (Saking booming-nya sampe ada expertnya segala..) Selain itu, menikah dengan sesama dokter juga bisa meningkatkan penghasilan keluarga anda. Jadi suami dan istri bisa sama-sama saling bantu.
Hasil penelitian yang dilakukan pada 1.200 orang dokter di Ohio University menunjukkan bahwa dokter yang menikah dengan sesama dokter merasa lebih bahagia dalam kehidupan pernikahannya jika dibandingkan dengan dokter yang menikah dengan orang yang bukan dokter. Disebabkan karena adanya kepuasan dalam berbagi permasalahan yang sama dan penghasilan yang lebih tinggi. Disisi lain, dokter yang menikah dengan dokter merasa lebih sedikit waktu yang dihabiskan bersama dengan anak dan merasa kurang terpuaskan dalam menempuh jenjang karier.
Ternyata pernikahan dengan sesama dokter juga bisa memberikan efek yang kurang baik. Bayangkan jika suami dan istri terlalu sibuk di luar rumah dengan pasien-pasiennya sehingga anak-anaknya terbengkalai. Kesibukan orangtua juga dapat mengurangi intesitas bertemu keluarga. Bahkan mungkin tak sempat lagi untuk membimbing anak-anaknya.. Mau jadi apa nanti anaknya? –Paling jadi dokter juga..:D- Dari segi karier, jika pasangan dokter berbagi tugas, maka harus ada yang siap –biasanya istri- untuk membagi waktu lebih banyak untuk keluarganya daripada harus mengembangkan karier dokternya. Hal ini adalah konsekuensi yang bisa terjadi dan harus disikapi dengan sebaik-baiknya oleh pasangan dokter.
-bersambung-