Friday, February 19, 2010

Mengapa dokter menikah dengan sesama dokter? -part1-

Belum lama ini, saya menghadiri acara pernikahan kakak kelas saya. Kedua mempelainya adalah kakak kelas saya. Ya, mereka berdua adalah dokter. Beberapa hari sebelumnya, hal yang sama juga terjadi pada kakak kelas saya yang lain. Dokter menikah dengan dokter. Di angkatan saya, ada dua orang teman yang sudah menikah. Keduanya juga menikah dengan pasangan dari latar belakang pendidikan yang sama. Lagi-lagi, dokter menikah dengan dokter. Fenomena dokter menikah dengan dokter merupakan hal yang sering saya jumpai. Bahkan ini juga terjadi dalam keluarga saya. Ayah dan Ibu saya adalah dokter. Ternyata, di belahan dunia yang lain, fenomena ini juga sering ditemukan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh peneliti dari San Francisco and Cleveland Veterans Affairs Medical Centers, University of California San Francisco, University Hospitals of Cleveland, dan Case Western Reserve University, dikatakan bahwa saat ini 50% dokter perempuan di Amerika Serikat menikah dengan dokter. Dan diperkirakan dalam waktu beberapa tahun kedepan, setengah dari dokter di Amerika akan menikah dengan sesama dokter.

Saya kemudian berfikir, bertanya pada beberapa orang, dan mencari referensi.. ada celetukan, kalau fenomena ini terjadi karena dokter kurang bergaul dengan lingkungan diluar. Karena kesibukan pekerjaan juga studi kedokteran yang lama (4 tahun sarjana kedokteran plus 2 tahun kepaniteraan,magang,internship..belum lagi kalau melanjutkan ke pendidikan spesialis tambah 3-5 tahun lagi) jadi dokter lebih sering bertemu dengan orang yang ada di dunianya saja. Dengan kata lain: kuper, kurung batokeun. Syukurlah redaksi sumpah dokter telah diamandemen. Jika sumpah dokter yang lama masih berlaku, akan banyak sekali dokter yang melanggarnya ^^ “akan memperlakukan teman sejawat seperti saudara kandung”

Salah satu penyebab maraknya fenomena ini adalah karena semakin banyaknya perempuan yang menempuh studi sebagai dokter. Di angkatan saya saja, perbandingan mahasiswa dengan mahasiswi adalah satu banding tiga. Seperti itu juga terjadi pada angkatan-angkatan di bawah saya. Jika dilihat lebih dekat, lebih banyak dokter perempuan yang menikah dengan dokter laki-laki jika dibandingkan dengan dokter laki-laki yang menikah dengan dokter perempuan. Hal ini karena, banyak dokter laki-laki yang cenderung lebih memilih istri –bukan dokter- yang bisa mengurus keluarga dan anak-anaknya di rumah, sedangkan dirinya yang jungkir balik cari nafkah di luar rumah. Berpatokan dari pendapat ini, maka dengan meningkatnya jumlah dokter perempuan, maka akan semakin banyak pasangan dokter yang muncul.

Menikah dengan sesama dokter, membuat pasangan lebih mengerti dengan berbagai hal yang dihadapi oleh seorang dokter. Tingginya mobilitas di luar rumah membuat intensitas pertemuan yang jarang dengan keluarga. Terlebih dokter-dokter yang harus siap siaga selama 24 jam. Atau bagi dokter yang sedang menempuh studi residensi, lengkap dengan tingkat stress yang tinggi setiap harinya. Untuk keadaan-keadaan seperti ini, dokter akan lebih nyaman jika pasangannya juga dapat mengerti hal-hal yang dialaminya. Yang akan didapatkan jika pasangannya juga seorang dokter, sehingga bisa lebih faham dan mengerti tentang konsekuensi dari profesi pasangannya itu. Dengan memiliki pasangan yang berprofesi sama, dokter juga akan berbicara dalam bahasa yang sama. Mungkin kalau bisa digambarkan dalam bentuk dialog unik kurang lebih seperti ini.

Dokter: “Sayang..aku lelah sekali. Tadi di RS, ada pasien Stephen Johnson Syndrome..”
Istri-dokter-yang-bukan-dokter:“Wah..artis dari mana tuh mas?”
Dokter: GUBRAK..”Ggrrr…”


Nah, sederhananya, komunikasi setidaknya akan lebih mudah kalau dokter menikah dengan sesamanya. Dengan lancarnya komunikasi, mereka bisa saling berbagi tentang permasalahan pekerjaan juga kehidupan keluarga sehingga bisa saling menguatkan. Hal ini penting untuk membina pernikahan sesama dokter, kata Wayne M Sotile, psikiater yang sering menangani permasalah pernikahan dokter di Amerika Serikat (Saking booming-nya sampe ada expertnya segala..) Selain itu, menikah dengan sesama dokter juga bisa meningkatkan penghasilan keluarga anda. Jadi suami dan istri bisa sama-sama saling bantu.

Hasil penelitian yang dilakukan pada 1.200 orang dokter di Ohio University menunjukkan bahwa dokter yang menikah dengan sesama dokter merasa lebih bahagia dalam kehidupan pernikahannya jika dibandingkan dengan dokter yang menikah dengan orang yang bukan dokter. Disebabkan karena adanya kepuasan dalam berbagi permasalahan yang sama dan penghasilan yang lebih tinggi. Disisi lain, dokter yang menikah dengan dokter merasa lebih sedikit waktu yang dihabiskan bersama dengan anak dan merasa kurang terpuaskan dalam menempuh jenjang karier.

Ternyata pernikahan dengan sesama dokter juga bisa memberikan efek yang kurang baik. Bayangkan jika suami dan istri terlalu sibuk di luar rumah dengan pasien-pasiennya sehingga anak-anaknya terbengkalai. Kesibukan orangtua juga dapat mengurangi intesitas bertemu keluarga. Bahkan mungkin tak sempat lagi untuk membimbing anak-anaknya.. Mau jadi apa nanti anaknya? –Paling jadi dokter juga..:D- Dari segi karier, jika pasangan dokter berbagi tugas, maka harus ada yang siap –biasanya istri- untuk membagi waktu lebih banyak untuk keluarganya daripada harus mengembangkan karier dokternya. Hal ini adalah konsekuensi yang bisa terjadi dan harus disikapi dengan sebaik-baiknya oleh pasangan dokter.

-bersambung-