Saturday, September 1, 2007

Antara wortel, telur, dan kopi

Dalam suatu forum yang pernah saya ikuti, keadaan menjadi memanas. Walaupun tempratur ruangan tetap sama, tapi permasalahan yang berat dan tak kunjung usailah yang membuat hampir setiap orang tak lagi berfikir dengan hati yang dingin. Tak ada lagi gelak tawa yang biasanya muncul di sela-sela bincangan serius. Entah mengapa, tembok-tembok seolah bergerak merapat, papan tulis terasa retak berjatuhan, dan tulisan-tulisan agenda rapat menari-nari mengahantui kedua mata kami. Simpelnya, semua orang sudah sangat tak betah lagi harus bertahan disana. Sampai seorang teman menyampaikan sebuah cerita unik dalam sesi tausyiah.

Ia bercerita tentang pengalamannya berada di dapur “kehidupan” bersama seorang sahabatnya. Di meja makan, ada sebuah wortel, sebuah telur, dan bubuk kopi dalam sebuah cangkir. Lalu masing-masing di masukan ke dalam gelas kaca. Sahabatnya lalu memasukkan gelas pertama yang berisi wortel dengan sebuah air panas yang mendidih. Sahabatnya lalu berkata, “Lihatlah wortel yang keras tadi, sekarang telah menjadi lembut, lembek, dan rapuh.” Berikutnya, telur mentah dipecahkan dari cangkang telur dan isinya ditumpahkan ke dalam gelas. Sama dengan yang pertama, air panas yang mendidih kemudian dimasukan ke dalam gelas. “Telur yang tadinya begitu encer dan halus, telah menjadi kaku, keras, dan berbentuk”, lanjutnya. Kemudian, yang terakhir bubuk kopi. Setelah dimasukan tentu saja air panas yang awalnya jernih telah menjadi kopi hangat sekarang. “Kopi tadi telah mewarnai airnya, dan harum sekali bukan?”

Selanjutnya sahabatnya terduduk dan menceritakan hikmah yang begitu indah di balik wortel, telur, dan kopi. Banyak orang yang bersikap seperti wortel tadi. Pada awalnya mereka adalah sosok-sosok yang terlihat kuat dan begitu tegar. Tapi, ketika masalah datang menerpanya, ia berubah menjadi sosok yang rapuh dan begitu lemah. Mendramatisir masalahnya dan melarutkan dirinya dalam beban-beban yang terus menggelantunginya. Akhirnya masalah yang begitu besar itu menjadikannya begitu kecil dan tak berdaya.

Ada beberapa orang yang bersikap seperti telur. Pada mulanya mereka adalah pribadi yang terbuka dan lihai. Bisa melewati batu-batu cobaan dengan bergerak cepat menghindarinya. Tapi, ketika masalah besar yang tak bisa ia hindari menerjang, ia berubah. Menjadi sosok keras dan tertutup. Ia membatasi dirinya dalam wilayah amannya. Membuat batas tegas antara dirinya dengan wilayah abu-abu yang mungkin membawanya kembali pada masalah besarnya. Akhirnya masalah yang begitu besar itu menjadikannya rigid dan tak berkembang.

Tapi ada sedikit orang yang bersikap seperti kopi. Mereka memang berubah, sama seperti yang lain. Tapi, permasalahan yang terus datang mematangkan kebijaksanaanya. Mewarnai permasalahannya dengan berbagai kebaikan yang ia miliki. Menjadikan masalahnya sebuah peluang untuk melejitkan potensinya. Semakin banyak masalah, semakin banyak solusi yang ia keluarkan. Masalah yang begitu besar telah membuatnya menjadi pribadi yang begitu besar.

Setelahnya, suasana syuro pun berubah. Tercetus harapan dari setiap diri untuk belajar dari sang kopi. Menjadi kader-kader tangguh dalam benaman masalah yang terus mengalir. Sebijak Abu Bakar, Setegas Umar bin Khaththab, Setabah Ustman bin Affan, Secerdas Ali bin Abi thalib, Setegar Bilal bin Rabbah, Semantap Mushab bin Umair, dan seberani Khalid bin Walid. Semoga.

~hafizhurrahman.

No comments: