Thursday, July 9, 2009

Nadal juga bukan kidal!

Tidak ada yang pernah menyangka bahwa seorang Rafael Nadal-Parera dengan jurus kojo 'backhand dua tangan' yang menyabet Australian Open 2009 lalu ini ternyata bukanlah seorang kidal. "Saya bermain dengan dua tangan sampai umur 11 tahun", kisah Rafa tentang sejarahnya, "Kemudian paman bilang saya harus memukul forehand dengan satu tangan dan saya memilih kiri" Paman nya adalah Toni Nadal yang juga berperan sebagai pelatihnya. Bukan hanya itu saja kisah menarik dalam kehidupan seorang Rafa -panggilan akrabnya-, dalam masa kecilnya ternyata ia sangat menyukai sepak bola. Tercatat saat Nadal berada di Junior league, ia mencetak ratusan gol yang membuat namanya harum sebagai pemain sepak bola terbaik pada usianya. Namun, keputusan itu kembali dibuatnya. Sang Ayah, Sebastian Nadal memintanya untuk memilih salah satu dari kedua olahraga yang ia sukai itu. Dan ia memilih tenis dengan prestasi pertama sebagai juara Spanyol dan Eropa saat ia berusia 12 tahun.

Berangkat dari kisah Nadal, saya mencoba mengambil pelajaran. Bahwa tidak semua hal yang membawa kita pada masa emas kita -atau sebuah kesuksesan- adalah hal yang paling kita sukai pada awalnya. Setiap kita punya impian dan kesukaan pada jalur masing-masing untuk membuat sejarah kesuksesan dalam hidup kita. Kalau amati di sekitar saya saja, ada sebuah fenomena menarik untuk saya angkat. Ada beberapa teman saya, yang kuliah di Fakultas Kedokteran hanya karena permintaan orang tua. Pada awalnya memang sulit, terlepas dari yang memilih untuk berhenti dan tidak melanjutkan, ternyata banyak juga yang berhasil menyelesaikan kuliah -bahkan dengan nilai yang memuaskan-

Melihat kembali kisah hidup pemain tennis muda tadi, saya pun merefleksikan nya pada kehidupan saya. Bahwa orang-orang terdekat saya telah memberikan berbagai saran -terkadang saran yang sedikit memaksa- untuk kehidupan saya. Ternyata, jika dilalui dengan hati yang lapang dan niat yang tulus, semua itu bisa dilalui. Bahkan, itu mungkin menjadi bagian terbaik dalam hidup kita. Kalau Nadal yang sebenarnya tidak kidal saja bisa menjadi bintang, mengapa saya tidak bisa? Hidup ini penuh dengan pilihan-pilihan dengan segala konsekuensinya. Kita akan dinilai, dengan apa yang kita pilih. Bukan pada apa-apa yang tidak kita pilih. Dan indahnya hidup, saat kita memiliki orang-orang berpengalaman yang mencintai kita. pilihan-pilihan itu seolah berbicara dengan lugas tentang apa keunggulannya masing-masing. Alhamdulillah. Thanks mom, thanks dad. Finally, mission acomplished! Lets start a new one..

"I always wanted to be honest with myself and those who have had faith in me"
(Rafael Nadal)

Kapan mau Nikah?

Hari-hari ku lewati hanya sendiri tanpa kekasih..
Tapi tetap ku nikmati indahnya hari tanpa tambatan hati.
Aku ingin menjadi setitik awan kecil di langit bersama mentari

Walaupun ku sendiri tapi aku masih ada,
Masih ada cinta di hati
..
(Masih Ada, Ello)

“Sudah tau kan” ungkap seorang teman dalam sebuah pembicaraan singkat di telepon, “akhir pekan ini beliau menikah?” tentang seorang akhwat yang kami kenal lewat salah satu lembaga da’wah. “Oh ya? Subhanallah ya..” Saya sempat terkaget-kaget, kemudian tersadarkan “beliau kan akhwat, memang biasanya lebih cepat kalau dibandingkan dengan ikhwan..” Kalau dihitung-hitung, maka pembicaraan telepon –yang saya anggap sebuah undangan juga- tadi, adalah undangan pernikahan yang ke-enam yang saya terima dalam beberapa waktu terakhir. Beberapa diantaranya adalah kerabat saudara dan sisanya adalah sahabat-sahabat perjuangan di beberapa lembaga da’wah. Akhir pekan ini misalnya -jika ditambah dengan akhwat tadi- maka akan ada tiga walimahan (resepsi pernikahan) yang akan saya hadiri pada hari yang sama.

Dibalik kebahagian yang saya rasakan saat menerima undangan-undangan tersebut, ada juga rasa gundah yang mulai melingkupi hati saya. Tentang pernikahan. Sebuah bentuk ibadah yang begitu indah dan menyenangkan. Setidaknya begitulah pengakuan beberapa sahabat yang sudah melakoninya. Saya tidak mau menulis dan membayangkan lebih jauh tentang hal ini. Karna saya tau, pernikahan bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan biologis dan romantisme ala roman picisan. Terlepas dari segala bentuk kenikmatan yang ditawarkan, pasti ada usaha dan perjuangan untuk meraih dan menjaganya. Apalagi harus bergulat dengan dilema kemandirian ekonomi dan pendidikan. Bersamaan dengan upaya sungguh-sungguh untuk menjaga agar keberkahan pernikahan tak terkotori dengan hal-hal yang melanggar syari’at. Yang perlu dikomunikasikan dengan sangat cantik pada pihak orangtua dan keluarga. Sehingga muncul rasa iri melihat keberanian dan kesungguhan kawan-kawan saya untuk melengkapi separuh agamanya itu.

Saya meyakini bahwa pernikahan adalah bagian dari kehidupan saya. Bagian dari ibadah. Yang perlu dilandasi niat yang benar dan ilmu yang memadai. Sesuatu yang perlu saya siapkan. Yang perlu waktu untuk menyelesaikannya. Saya ingin, saat saya menjalankannya nanti, saya telah mengetahui dan mengerti dengan bagaimana seluk beluknya. Meskipun saya yakin, tak ada yang bisa menandingi kesempatan untuk mengenal sesuatu lebih dalam selain langsung melakukan dan menyelaminya sendiri.

Ingin sekali menjawab pertanyaan retorika baginda rasul, shalallahu’alaihi wassalam “Apa yang menghalangi seorang mukmin untuk mempersunting istri?” kemudian beliau melanjutkan “Mudah-mudahan Allah mengaruniainya keturunan yang memberi bobot kepada bumi dengan kalimat la illaha illaLlah.” Kalimat yang sangat mendalam ini saya dapatkan dari Ustadz Mohammad Fauzil Adhim, pakar nikah dan parenting saat membaca karya fenomenalnya, Kupinang Engkau dengan Hamdallah.

Semoga Allah berikan saya kesempatan untuk mengakhiri masa lajang ini dengan berkah. Dan memberikan pernikahan yang berkah suatu saat nanti..Semoga disegerakan, agar saya dapat mendengarnya berkali-kali “Baarakallahu laka, wa baarakallahu ‘alaika, wa jama’a bainakuma fii khaiir..” Amiin.

tak kan mungkin kita bertahan
hidup dalam kesendirian
panas terik hujan badai
kita lalui bersama..
saat hilang arah tujuan
kau tahu kemana berjalan
meski gelap meski terang
kita lalui, bersama..
(Tak Seindah Biasa, Siti Nurhaliza)