Sunday, August 26, 2007

Surat Cinta tuk Mujahid

Ikhwah fillah..
Perjuangan ini tegak atas dasar azimah yang agung,
Berdiri dengan nafas pengorbanan dan derap kesetiaan,
Tak akan pudar dengan kilau harta, tahta, dan wanita,
Tak akan mundur walau dunia menggoda.

Ini adalah sebuah perniagaan termahal dengan Allah.
Sebuah janji yang pasti kan ditepati.

Lepaskan belenggu malasmu,
Da’wah ini tak disiapkan untuk pejuang-pejuang yang manja!
Hindarkan dirimu dari keluh kesah yang melemahkan.
Sungguh da’I sejati selalu bersabar bersama kaum nya.

Sungguh, lelahmu, keluh-kesahmu..
Tak ada artinya dibandingkan peluh dan darah yang dikeluarkan para rasul dan sahabat.
Sungguh, tegarmu, istiqamahmu…
Akan digantikan dengan lapangnya surga dengan kenikmatan di setiap sudutnya.

Ikhwah fillah, yakinlah.
Beratnya da’wah ini telah menghapus beratnya dosa mu.
Rintangan yang silih berganti ini telah menyeleksi jundi terbaik untuk mengemban da’wah ilallah.
Semaikan benih cinta pada-Nya, dalam kesungguhan mencintai da’wah pada-Nya.
Sebarkan curahan kasih-Nya, dalam setiap desahan cintamu untuk ummat.

Ishbir yaa akhi..
Ishbir yaa ukhti..

~hafizhurrahman.

sekedar menasehati diri yang futur.

Cerita sang Genting

Di sebuah tempat pembuatan genting,
Segenggam tanah liat terlihat bersedih di pojok ruangan. Ia melihat teman-temannya diputar-putar, dipukul-pukul, dibanting-banting, bahkan dibakar oleh sang pengrajin.
"Rabb, mengapa aku harus melihat ini semua?" keluhnya dalam kesedihan.

Tak lama pun sang pengrajin mengangkatnya dari kubangan lumpur. Dan ia mulai dilempar, ditarik-tarik, dan dibanting-banting. Sungguh tak tertahankan.
"Rabb, mengapa aku harus mengalami ini semua?" sesalnya dalam keperihan.

Setelah benar-benar halus. Ia mulai dimasukkan ke pembakaran. Panas sekali. Ia merasakan seluruh tubuhnya meleleh. Lalu ia mengisi cetakan genting bersama tanah liat lain yang sudah meleleh. Ia kira sampai disitulah penderitaannya, tapi ternyata itu belum cukup untuk menjadikannya menjadi genteng yang siap pakai. Ia kemudian dimasukkan kembali kepembakaran. Sungguh sakit sekali. Setelah benar-benar kering barulah ia dikeluarkan dan bisa dipakai.

Ikhwah fillah, Analogikan itu sebagai perjalanan panjang kita bersama da'wah. .
Kebiasaan-kebiasaan buruk kita pada masa jahiliyah dikikis habis. Aqidah kembali diluruskan. Ibadah dengan benar sesuai tuntunan. Dan Akhlaq kita disempuranakan. Kita dilelehkan dalam celupan islam yang menuntut totalitas perubahan. Allah mentarbiyah kita dengan cobaan, tantangan, hambatan yang silih berganti. Terkadang letih dan lelah mengganjal kita. Terkadang niat yang membengkok membuat kita tersadar untuk kembali meluruskannya.

Tanpa kita sadari, itulah yang telah mendewasakan kita. Menjadikan kita kader yang siap untuk digerakkan. Allah telah meninggikan kita dengan islam. Dari tanah liat dalam kubangan lumpur yang rendah menjadi genting di atas langit-langit yang tinggi. Menjadi tempat berteduh bagi manusia.

Dari genting jugalah kita belajar untuk beramal jama'i. Mereka berkaitan satu sama lainnya. Tidak perlu lem yang canggih untuk merekatkannya. Mereka saling menjaga agar bisa melindungi manusia dari panas dan hujan. Dan dalam jama'ah pun kita bertawashi dalam kebaikan dan kesabaran. Saling menguatkan satu sama lain untuk istiqomah di jalan-Nya. Saling melengkapi kekurangan dengan potensi masing-masing.

Suatu ketika bisa saja sebuah genting terjatuh ke tanah. Fenomena futur pada ikhwah. Selama tidak pecah, masih bisa dikembalikan ke atas untuk kembali bersama dalam barisan gentingnya. Tapi saat inshilah, apalah artinya serpihan pecahan genting yang tak berbentuk lagi. Ia akan menjauh dari komunitas gentengnya, dan kembali ke tanah yang rendah.

Semoga kita bisa belajar tentang kesabaran, tadhiyah, da'wah dan amal jama'I dari genting.





~hafizhurrahman.
sebuah cerita dari seorang kakak
saat jalan santai ba'da shubuh.

Friday, August 24, 2007

Kisah sebatang bambu

Sebatang bambu yang indah tumbuh di halaman rumah seorang petani.Batang bambu ini tumbuh tinggi menjulang di antara batang-batang bambulainnya. Suatu hari datanglah sang petani yang empunya pohon bambu itu.Dia berkata kepada batang bambu," Wahai bambu, maukah engkau kupakaiuntuk menjadi pipa saluran air, yang sangat berguna untuk mengairisawahku?"



Batang bambu menjawabnya, "Oh tentu aku mau bila dapat berguna bagiengkau, Tuan. Tapi ceritakan apa yang akan kau lakukan untuk membuatkumenjadi pipa saluran air itu."


Sang petani menjawab, "Pertama, aku akan menebangmu untuk memisahkanengkau dari rumpunmu yang indah itu. Lalu aku akan membuangcabang-cabangmu yang dapat melukai orang yang memegangmu. Setelah ituaku akan membelah-belah engkau sesuai dengan keperluanku. Terakhir akuakan membuang sekat-sekat yang ada di dalam batangmu, supaya air dapatmengalir dengan lancar.Apabila aku sudah selesai dengan pekerjaanku, engkau akan menjadi pipayang akan mengalirkan air untuk mengairi sawahku sehingga padi yangkutanam dapat tumbuh dengan subur."


Mendengar hal ini, batang bambu lama terdiam..... , kemudian diaberkata kepada petani, "Tuan, tentu aku akan merasa sangat sakitketika engkau menebangku. Juga pasti akan sakit ketika engkau membuangcabang-cabangku, bahkan lebih sakit lagi ketika engkau membelah-belahbatangku yang indah ini, dan pasti tak tertahankan ketika engkaumengorek-ngorek bagian dalam tubuhku untuk membuang sekat-sekatpenghalang itu. Apakah aku akan kuat melalui semua proses itu, Tuan?"


Petani menjawab batang bambu itu, " Wahai bambu, engkau pasti kuatmelalui semua itu, karena aku memilihmu justru karena engkau yangpaling kuat dari semua batang pada rumpun ini. Jadi tenanglah."Akhirnya batang bambu itu menyerah, "Baiklah, Tuan. Aku ingin sekaliberguna bagimu. Ini aku, tebanglah aku, perbuatlah sesuai dengan yangkau kehendaki."


Setelah petani selesai dengan pekerjaannya, batang bambu indah yangdulu hanya menjadi penghias halaman rumah petani, kini telah berubahmenjadi pipa saluran air yang mengairi sawahnya sehingga padi dapattumbuh dengan subur dan berbuah banyak.


Pernahkah kita berpikir bahwa dengan masalah yang datang silihberganti tak habis-habisnya, mungkin Allah sedang memproses kita untukmenjadi indah di hadapan-Nya?


Sama seperti batang bambu itu, kita sedang ditempa, Allah sedang membuat kita sempurna untuk di pakaimenjadi penyalur berkat. Dia sedang membuang kesombongan dan segalasifat kita yang tak berkenan bagi-Nya. Tapi jangan kuatir, kita pastikuat karena Allah tak akan memberikan beban yang tak mampu kita pikul.


Jadi maukah kita berserah pada kehendak Allah, membiarkan Dia bebasberkarya di dalam diri kita untuk menjadikan kita alat yang bergunabagi-Nya? Seperti batang bambu itu, mari kita berkata, " Ini aku Allah,perbuatlah sesuai dengan yang Kau kehendaki."




kisah menarik dari postingan teman.


Teguh

Suatu kali, seorang teman yang baru saya kenalbertanya tentang nilai kebaikan.Sebenarnya saya juga bingung dengan pertanyaan itu,tapi saya mencoba mengambil hikmah dari pertanyaan itu. Ia bertanyabagaimana bisa tetap menjadi 'baik'di tengah lingkungan yang sangat 'jahat'? Kita adalah lingkungan yang ada disekitar kita, Kita terbentuk karena lingkungan-lah yang membentuk kita menjadi seperti itu. Dogma ini memang sangat berkembang pesat, sehingga seperti sebuah keniscayaan untuk mempertahankan sebuah nilai yang berlawanan atau tidak sejalan dengan nilai-nilai yang berkembang disekitar kita.



Tetapi, ada pengecualian yang saya temukan. Nilai kebaikan yang tertanam. Bila nilai ini sudah menjadi bagian dari kita,bukan hanya sebuah doktrin yang melekat, tetapi nilai ini adalah kita. Kita muncul karena nilai ini. Nilai kebaikan. Sungguh tidak mudah untuk mempertahankan sebuah nilai kebaikan di dalam lingkungan yang memang tidak menghendaki munculnya nilai kebaikan itu. Tapi, disitulah perbedaanya.Perbedaan tentang kualitas diri.


Sejauh mana nilai-nilai itu terhujam di hati. Sebesar apa nilai-nilai itu melingkupi pikiran kita, dan sejauh mana ia menghiasi hari-hari kita. Kekuatan ikatan pada kebaikan yang telah terbentuk kadang merenggang, dan kadang erat. Disanalah kita untuk terus menjaganya. Dengan apapun yang kita bisa. Perubahan memang mudah, tapi mempertahankan itulah nilai kebaikan yang sulit.
Saya ingin mencoba belajar dari ikan. Yang menjaga dirinya di tengah keasinanan laut. Karena ia hidup bersama dengan yang lainnya, dan ia patuh pada sunnatullahnya


~hafizhurrahman.
November 2005
Untuk saudara-saudaraku
yang tetap teguh bersama
nilai kebaikannya.

Maaf dan Surga…


"Tiga perkara, barang siapa melakukannya, Ia akan dihisab oleh Allah dengan mudah dan akan dimasukkan ke surga dengan rahmatNya: Memberi kepada orang yang bakhil kepadamu, menyambung hubungan kepada orang yang memutuskannya darimu, dan memaafkan orang yang mendzalimimu! Bila hal itu kau lakukan, engkau masuk surga!"

(HR Bazzar-Thabrani)
Memberi,
Kekuatan terbesar untuk terus istiqamah,
Karena tujuannya bukan untuk balasan,
Tapi karena cinta!
Bersilaturrahim,
Kekuatan terbesar untuk terus istiqamah,
Merajut benang ukhuwah di Jalan-Nya,
Hanya karena cinta!
Memaafkan…
Sungguh berat, percayalah! Sangat sulit!
Mengingat bersitan memori yang pahit!
Selalu melintas tanpa kata maaf!
Mengapa kata ‘Maaf’ begitu berat?
Entahlah, mungkin itulah kekuatan terbesar untuk menerima,
Belum cukupkah surga dan bidadarinya?
Pantaskah hamba ini menerimanya?
Kalau bukan kata ‘maaf’ dari Rabbnya,
Sungguh berat, hanya karena cinta pada Ar-Rahmaan...
"Jadilah engkau pemaaf..." (Al-A’raf : 199)

~hafizhurrahman.
bulan separuh di Syawal 1426

Da’wah, sebuah kelembutan

“Maka disebabkan rahmat dari Allah, kamu bisa lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap kasar, mereka tentu akan menjauhkan diri dari sekeliling kamu.”
(Ali-Imran:159)

Terkadang ada kecemasan dan kegundahan tersendiri saat melihat beberapa saudara kita yang berda’wah dengan jalan yang berbeda dengan yang kita lakukan. Dengan menggunakan kekerasan dan tidak jarang adanya perusakan terhadap barang-barang pembawa kemaksiatan. Bahkan mungkin ada beberapa ikhwah yang menganggap hal tersebut merupakan bentuk aplikasi dari da’wah dengan ‘tangan’ yang diperintahkan oleh rasulullah saw.


Hal tersebut pun pernah terjadi saat masa Imam Hasan Al-Banna, beliau mengeluarkan fatwa untuk melarang tindakan pengrusakan yang dilakukan oleh sekumpulan orang-orang shalih kepada tempat-tempat khamr yang sudah membanjiri Mesir, bahkan mengelilingi masjid. Sebuah tindakan yang mungkin kita anggap sebuah hal yang aneh. Tetapi coba simak apa yang diutarakan oleh Ahmad Hussain, salah satu dari ‘perusak’ tersebut.

“Sungguh aku masih teringat masa mudaku, ketika itu sekelilingku terdapat para pemuda yang aktif dalam beragama. Pada waktu itu tempat-tempat penjualan minuman keras ada dimana-mana, bahkan di depan sekolah dan disekitar masjid-masjid. Maka tergugahlah kita untuk memberantas semua itu dengan kekuatan, karena kami ingin melaksanakan sabda rasulullah. “Barang siapa diantara kamu melihat kemungkaran, maka ubahlah ia dengan tanganmu..” Lalu sebagian pemuda di sekitar kami bertekad untuk menyerbu dua atau tiga tempat penjualan minuman keras. Kami memecahkan beberapa botol khamr, serta menumpahkan beberapa galon. Akhirnya suasana menjadi kacau-balau, dan insiden ini dianggap melanggar undang-undang Negara. Kemudian pemerintah saat itu memusuhi kami dengan permusuhan yang keras. Hal tersebut tidak membuat kami heran, karena memang pemerintahan saat itu dikuasai oleh penjajah Inggris yang menguasai Mesir.

Akan tetapi yang membuat saya terkejut dan merasa pesimis adalah makalah (fatwa) yang ditulis oleh Imam Syahid Hasan Al-Banna. Beliau ternyata menolak cara da’wah yang telah kami praktekan. Akhirnya sekarang saya baru tahu bahwa beliau berbicara tentang sesuatu yang benar-benar islami. Baik secara ruh maupun nash, sebagaimana itu tampak jelas setelah saya pelajari. Tetapi pada saat itu, saya sangat marah, dan bahkan saya menganggap keberadaanya sebagai sebuah rekayasa politik. Dan saya pergi sendiri untuk menelaah kembali –ketika saya berada di dalam penjara—seluruh fatwa para fuqaha tentang batas-batas amar makruf nahi mungkar, sejauhmana hak seorang muslim biasa (rakyat) untuk mengubah dengan tangan. Ternyata saya dikejutkan oleh ijmak (konsensus) para ulama fiqih empat mahzab bahwa mengubah kemungkaran dengan tangan itu termasuk hak waliyul amri (pemerintah) saja dan bukan hak individu. Saya benar-benar dikejutkan oleh kesepakatan itu, dan secara perlahan tapi pasti saya mencoba untuk keluar dari bencana yang saya rasakan. Saya berbicara dengan beberapa pihak tentang masalah ini, dan akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa saya puas dengan fatwa Hasan Al-Banna itu. Sampai-sampai saya merasa benci dengan kekerasan sikap saya dahulu, dan saya selalu memberi peringatan kepada rekan-rekan muda tentang masalah ini.”

Sungguh teladan yang banyak sekali bisa kita lihat dari sosok Rasulullah yang menjadi sosok yang lembut tapi tetap kuat dalam kesungguhannya merubah suatu kaum dengan da’wah yang dibawanya. Begitu juga dengan beberapa kisah tentang kelembutan para utusan Allah yang lain. Sebagai sebagian kecil dari pembawa risalah ini, pantaskah kita bersikap kasar pada objek da’wah kita?


“Sesungguhnya Allah itu lembut, menyukai kelembutan, meridhainya, dan memberinya bantuan yang tidak Dia berikan kepada tindak kekerasan.”
(Diriwayatkan Ath-Thabrani dari Mi’dan)



~hafizhurrahman.
ditulis tanggal 18 Juli 2006