Saturday, September 1, 2007

Sebuah Jawaban untuk hati kecilku..

“Kenapa sih mau jadi ketua DKM?”
“Amanahmu yang lain ditelantarkan gitu aja?”
“Udah enak ya sekarang di Kampus?”
“Jadi kuliah mau di nomor dua kan?”

Beberapa pertanyaan itu sempat mampir ke telinga kananku. Terus begitu saja berlalu di telinga kiriku. Sebenarnya, bukannya tak sadar atau memang diacuhkan. Tapi beberapa pertanyaan itu terkadang melemahkanku. Tapi di saat yang lain juga menggugah hati untuk terus mencari jawabannya.

Terkadang juga muncul syndrome ”ku tahu yang ku mau”. Saat hati tiba-tiba membeku. Mencari jawaban, sebenarnya apa sih maunya hati kecil ini. Jangan-jangan selama ini hanya ngikut-ngikut. Hanya menduplikasi keinginan orang lain. Dan bergerak hanya untuk kemauan orang lain. Hanya ”ngekor” sama teman. Hanya ”ngikut” di manapun ditempatkan. Saking seringnya, sampai saat bertanya pada hati kecil, yang muncul hanya jawaban orang lain yang diulang dengan kosa kata yang sedikit berbeda.

Sungguh, diri ini begitu lemah. Tapi, Allah Maka Kuat dan memberikan kekuatan pada orang yang Ia kehendaki. Saat futur melanda, Al-Qur’an lah penawar yang mulia.

“Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin, baik diri maupun harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah, sehingga mereka membunuh atau terbunuh, (sebagai) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al-Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya selain Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan demikian itulah kemenangan yang agung.” (At-Taubah 111)

Allah telah melakukan perniagaan yang dahsyat dengan jiwa ini.
Juga dengan harta dan raga. Menjadi jundullah dengan bayaran yang tak murah.
Dan itu hanya bisa diraih dengan tadhiyah yang juga tak murah.
Bukan hanya harta dan raga. Jiwa ini, hati kecil ini, kecenderungan hati ini telah tergadaikan di jalan-Nya. Telah terikat dengan transaksi yang tak usah diragukan lagi kepastiannya.

Ketika yang lain mundur tak beraturan, jundurrahman maju ke hadapan. Tak pernah terpikir untuk melangkah ke belakang dan berdiam. Pilihannya hanya dua: hidup mulia atau syahid bersama bidadari surga. Tetap berangkat walau berat. Tetap bergerak dan mensabar-sabarkan hati. Memahamkan hati dalam segala kondisi. Membiasakan hati untuk memahami dari pada ingin dipahami. Dan itu semua, untuk sebuah janji agung yang tinggi.

Setelah semua keluh kesah. Diantara kesusahan dan kesedihan yang silih berganti. Dibawah celaan orang-orang yang melemahkan.
Kebahagiaan itu tetap terpatri kekal di hati. Sebagai sebuah bukti akan janji sebuah kemenangan yang sebenarnya. Kemenangan yang abadi.

Dan, dengan penuh izzah, kan kuwajab..
”Allah telah membeliku dengan surga,
ada yang bisa bayar lebih tinggi?”

Wallahu’alam bishowwab.
Semoga bisa memberi inspirasi bagi hati-hati yang masih butuh kompromi.

~hafizhurrahman.
Tidak ada seorang-pun yang masuk surga dengan amalnya,
semuanya hanya karena rahmat dan maghfirah-Nya.

Antara wortel, telur, dan kopi

Dalam suatu forum yang pernah saya ikuti, keadaan menjadi memanas. Walaupun tempratur ruangan tetap sama, tapi permasalahan yang berat dan tak kunjung usailah yang membuat hampir setiap orang tak lagi berfikir dengan hati yang dingin. Tak ada lagi gelak tawa yang biasanya muncul di sela-sela bincangan serius. Entah mengapa, tembok-tembok seolah bergerak merapat, papan tulis terasa retak berjatuhan, dan tulisan-tulisan agenda rapat menari-nari mengahantui kedua mata kami. Simpelnya, semua orang sudah sangat tak betah lagi harus bertahan disana. Sampai seorang teman menyampaikan sebuah cerita unik dalam sesi tausyiah.

Ia bercerita tentang pengalamannya berada di dapur “kehidupan” bersama seorang sahabatnya. Di meja makan, ada sebuah wortel, sebuah telur, dan bubuk kopi dalam sebuah cangkir. Lalu masing-masing di masukan ke dalam gelas kaca. Sahabatnya lalu memasukkan gelas pertama yang berisi wortel dengan sebuah air panas yang mendidih. Sahabatnya lalu berkata, “Lihatlah wortel yang keras tadi, sekarang telah menjadi lembut, lembek, dan rapuh.” Berikutnya, telur mentah dipecahkan dari cangkang telur dan isinya ditumpahkan ke dalam gelas. Sama dengan yang pertama, air panas yang mendidih kemudian dimasukan ke dalam gelas. “Telur yang tadinya begitu encer dan halus, telah menjadi kaku, keras, dan berbentuk”, lanjutnya. Kemudian, yang terakhir bubuk kopi. Setelah dimasukan tentu saja air panas yang awalnya jernih telah menjadi kopi hangat sekarang. “Kopi tadi telah mewarnai airnya, dan harum sekali bukan?”

Selanjutnya sahabatnya terduduk dan menceritakan hikmah yang begitu indah di balik wortel, telur, dan kopi. Banyak orang yang bersikap seperti wortel tadi. Pada awalnya mereka adalah sosok-sosok yang terlihat kuat dan begitu tegar. Tapi, ketika masalah datang menerpanya, ia berubah menjadi sosok yang rapuh dan begitu lemah. Mendramatisir masalahnya dan melarutkan dirinya dalam beban-beban yang terus menggelantunginya. Akhirnya masalah yang begitu besar itu menjadikannya begitu kecil dan tak berdaya.

Ada beberapa orang yang bersikap seperti telur. Pada mulanya mereka adalah pribadi yang terbuka dan lihai. Bisa melewati batu-batu cobaan dengan bergerak cepat menghindarinya. Tapi, ketika masalah besar yang tak bisa ia hindari menerjang, ia berubah. Menjadi sosok keras dan tertutup. Ia membatasi dirinya dalam wilayah amannya. Membuat batas tegas antara dirinya dengan wilayah abu-abu yang mungkin membawanya kembali pada masalah besarnya. Akhirnya masalah yang begitu besar itu menjadikannya rigid dan tak berkembang.

Tapi ada sedikit orang yang bersikap seperti kopi. Mereka memang berubah, sama seperti yang lain. Tapi, permasalahan yang terus datang mematangkan kebijaksanaanya. Mewarnai permasalahannya dengan berbagai kebaikan yang ia miliki. Menjadikan masalahnya sebuah peluang untuk melejitkan potensinya. Semakin banyak masalah, semakin banyak solusi yang ia keluarkan. Masalah yang begitu besar telah membuatnya menjadi pribadi yang begitu besar.

Setelahnya, suasana syuro pun berubah. Tercetus harapan dari setiap diri untuk belajar dari sang kopi. Menjadi kader-kader tangguh dalam benaman masalah yang terus mengalir. Sebijak Abu Bakar, Setegas Umar bin Khaththab, Setabah Ustman bin Affan, Secerdas Ali bin Abi thalib, Setegar Bilal bin Rabbah, Semantap Mushab bin Umair, dan seberani Khalid bin Walid. Semoga.

~hafizhurrahman.

Berawal dari Duri

Suatu ketika di sebuah negeri antah berantah. Seorang raja yang sangat dihormati oleh seluruh penduduk di negerinya sedang berjalan-jalan bersama para ajudannya. Enggak tanggung-tanggung, beliau mengajak seluruh pasukannya hanya untuk JJS di padang pasir yang tandus. (JJS: Jalan-jalan sore.red). Al Kisah, pada masa itu semua orang berjalan dengan bertelanjang kaki. Setelah beberapa lama berjalan, sang Raja berteriak kesakitan.

“Aduh!! Pengawal!! Mengapa kaki ku sakit sekali?”
Lalu pengawal yang bijak pun menjawab,

“Di hutan ini banyak duri baginda. Dan nampaknya salah satunya telah tertancap dalam kaki paduka.” Sang Raja terlihat geram. Tapi, ia berusaha agar terlihat lebih sabar di depan para pasukannya. Lalu tercetuslah ide mulia itu.
”Pasukanku. Kumpulkan seluruh bulu dan kain yang ada di kerajaan kita, lalu selimuti padang pasir ini dengan bulu dan kain itu. Agar kelak, saya tidak lagi merasa kesakitan jika melewati padang pasir ini. Begitu juga semua orang yang melaluinya”


Serentak seluruh pasukan mulai bergerak. Tapi, tiba-tiba pengawal yang bijak berucap.
”Maafkan saya, baginda. Tapi saya punya usul lebih mudah untuk dilakukan.” Karena usulan itu datang dari pengawal yang paling ia anggap bijak, maka Sang Raja pun mengabulkannya.
”Bagaimana kalau, bulu dan kain itu diikatkan saja pada kaki paduka. Sehingga kemanapun paduka berjalan akan tetap aman.”




Usul yang cerdas itu pun dikabulkan oleh Sang Raja. Kemudian, alas bulu dan kain itu juga dipakai oleh para pengawal dan seluruh rakyat di negerinya. Dan sekarang hampir seluruh dunia mengenakannya sebagai sepatu. Alas kaki.

Luar biasa bukan. Bagaimana sebuah himmah aliyyah (Cita-cita yang tinggi) dapat bermula dari hal sederhana, ifda binnafsik (memulai dari diri sendiri). Jika kita ingin merubah dunia, cara termudah memulainya adalah dengan merubah diri kita sendiri. Dalam tarbiyah kita mengenal ishlahun Nafs. Memperbaiki diri sendiri dengan capaian muwashafat. Dari sana lah entry point kita untuk merubah dunia. Jangan pernah remehkan apa yang terjadi pada diri kita. Saat kita mengisi hari-hari kita dengan tilawah, qiyam, shaum, dan dzikir, maka akan semakin banyak orang di dunia yang melakukannya. Kita adalah bagian dari dunia. Kita adalah bagian dari perubahan itu. Kita adalah bagian dari para perancang peradaban yang berkeimanan itu. InsyaAllah.

~hafizhurrahman.
Diambil dari sebuah cerita menarik yang disampaikan seorang guru dari Sudan:
Prof. Hasan Bella- Semoga Allah selalu Menuntun dan Menambah ilmu-nya.

Nb:
Terbayang kan kalau Sang Raja dan pengawal yang bijak tadi adalah seorang muslim? Seluruh manfaat yang ia berikan akan berbuah pahala yang besar sekali. Ya..andaikan saja cerita ini benar adanya.

Beruntunglah, wahai ghuroba!

Ghuroba.
Beruntunglah engkau wahai ghuroba!

Saat dunia mulai sesak dengan para koruptor. Saat generasi muda mulai hilang dengan narkoba dan terpukau dunia. Saat pemimpin tak lagi menangisi nasib rakyatnya. Kau mulai mengajak manusia, membina mereka, dan merawat benih-benih keimanan mereka dalam tarbiyah. Mengajarkan mereka menjadi birokrat yang jujur. Mengajak pemuda menjadi generasi pendobrak kedzaliman. Dan merawat pemimpin-pemimpin yang adil untuk mengurusi dunia.

Saat banyak orang terlelap nyenyak dalam buaian selimut, kau berdiri tegar dalam syahdunya qiyamulail. Saat gosip, obrolan sia-sia, dan ghibah merebak, kau hiasi lisanmu dengan tilawah dan al-ma’sturat. Saat masjid tak lagi ramai, kau kembali dengan majelis ilmu dan dzikir di dalamnya.

Orang yang senantiasa berbuat perbaikan,
saat yang lain berbuat kerusakan.
Beruntunglah engkau wahai ghuroba!

Orang yang senantiasa bertambah iman,
saat yang lain sedang turun.
Beruntunglah engkau wahai ghuroba!

Orang yang senantiasa menjunjung persatuan,
saat yang lain berpecah belah.
Beruntunglah engkau wahai ghuroba!

Orang shalih yang sedikit,
diantara banyaknya orang yang tak taat.
Beruntunglah engkau wahai ghuroba!

Orang yang senantiasa menghidupkan sunnah
dan mengajarkannya pada manusia.
Beruntunglah engkau wahai ghuroba!

Sahabat, sudahkah kita menjadi ghuroba?
Seperti yang rasulullah salallahu alaihi wassalam sampaikan?
Sungguh, Beruntunglah engkau wahai ghuroba!


~hafizhurrahman.

Sunday, August 26, 2007

Surat Cinta tuk Mujahid

Ikhwah fillah..
Perjuangan ini tegak atas dasar azimah yang agung,
Berdiri dengan nafas pengorbanan dan derap kesetiaan,
Tak akan pudar dengan kilau harta, tahta, dan wanita,
Tak akan mundur walau dunia menggoda.

Ini adalah sebuah perniagaan termahal dengan Allah.
Sebuah janji yang pasti kan ditepati.

Lepaskan belenggu malasmu,
Da’wah ini tak disiapkan untuk pejuang-pejuang yang manja!
Hindarkan dirimu dari keluh kesah yang melemahkan.
Sungguh da’I sejati selalu bersabar bersama kaum nya.

Sungguh, lelahmu, keluh-kesahmu..
Tak ada artinya dibandingkan peluh dan darah yang dikeluarkan para rasul dan sahabat.
Sungguh, tegarmu, istiqamahmu…
Akan digantikan dengan lapangnya surga dengan kenikmatan di setiap sudutnya.

Ikhwah fillah, yakinlah.
Beratnya da’wah ini telah menghapus beratnya dosa mu.
Rintangan yang silih berganti ini telah menyeleksi jundi terbaik untuk mengemban da’wah ilallah.
Semaikan benih cinta pada-Nya, dalam kesungguhan mencintai da’wah pada-Nya.
Sebarkan curahan kasih-Nya, dalam setiap desahan cintamu untuk ummat.

Ishbir yaa akhi..
Ishbir yaa ukhti..

~hafizhurrahman.

sekedar menasehati diri yang futur.

Cerita sang Genting

Di sebuah tempat pembuatan genting,
Segenggam tanah liat terlihat bersedih di pojok ruangan. Ia melihat teman-temannya diputar-putar, dipukul-pukul, dibanting-banting, bahkan dibakar oleh sang pengrajin.
"Rabb, mengapa aku harus melihat ini semua?" keluhnya dalam kesedihan.

Tak lama pun sang pengrajin mengangkatnya dari kubangan lumpur. Dan ia mulai dilempar, ditarik-tarik, dan dibanting-banting. Sungguh tak tertahankan.
"Rabb, mengapa aku harus mengalami ini semua?" sesalnya dalam keperihan.

Setelah benar-benar halus. Ia mulai dimasukkan ke pembakaran. Panas sekali. Ia merasakan seluruh tubuhnya meleleh. Lalu ia mengisi cetakan genting bersama tanah liat lain yang sudah meleleh. Ia kira sampai disitulah penderitaannya, tapi ternyata itu belum cukup untuk menjadikannya menjadi genteng yang siap pakai. Ia kemudian dimasukkan kembali kepembakaran. Sungguh sakit sekali. Setelah benar-benar kering barulah ia dikeluarkan dan bisa dipakai.

Ikhwah fillah, Analogikan itu sebagai perjalanan panjang kita bersama da'wah. .
Kebiasaan-kebiasaan buruk kita pada masa jahiliyah dikikis habis. Aqidah kembali diluruskan. Ibadah dengan benar sesuai tuntunan. Dan Akhlaq kita disempuranakan. Kita dilelehkan dalam celupan islam yang menuntut totalitas perubahan. Allah mentarbiyah kita dengan cobaan, tantangan, hambatan yang silih berganti. Terkadang letih dan lelah mengganjal kita. Terkadang niat yang membengkok membuat kita tersadar untuk kembali meluruskannya.

Tanpa kita sadari, itulah yang telah mendewasakan kita. Menjadikan kita kader yang siap untuk digerakkan. Allah telah meninggikan kita dengan islam. Dari tanah liat dalam kubangan lumpur yang rendah menjadi genting di atas langit-langit yang tinggi. Menjadi tempat berteduh bagi manusia.

Dari genting jugalah kita belajar untuk beramal jama'i. Mereka berkaitan satu sama lainnya. Tidak perlu lem yang canggih untuk merekatkannya. Mereka saling menjaga agar bisa melindungi manusia dari panas dan hujan. Dan dalam jama'ah pun kita bertawashi dalam kebaikan dan kesabaran. Saling menguatkan satu sama lain untuk istiqomah di jalan-Nya. Saling melengkapi kekurangan dengan potensi masing-masing.

Suatu ketika bisa saja sebuah genting terjatuh ke tanah. Fenomena futur pada ikhwah. Selama tidak pecah, masih bisa dikembalikan ke atas untuk kembali bersama dalam barisan gentingnya. Tapi saat inshilah, apalah artinya serpihan pecahan genting yang tak berbentuk lagi. Ia akan menjauh dari komunitas gentengnya, dan kembali ke tanah yang rendah.

Semoga kita bisa belajar tentang kesabaran, tadhiyah, da'wah dan amal jama'I dari genting.





~hafizhurrahman.
sebuah cerita dari seorang kakak
saat jalan santai ba'da shubuh.

Friday, August 24, 2007

Kisah sebatang bambu

Sebatang bambu yang indah tumbuh di halaman rumah seorang petani.Batang bambu ini tumbuh tinggi menjulang di antara batang-batang bambulainnya. Suatu hari datanglah sang petani yang empunya pohon bambu itu.Dia berkata kepada batang bambu," Wahai bambu, maukah engkau kupakaiuntuk menjadi pipa saluran air, yang sangat berguna untuk mengairisawahku?"



Batang bambu menjawabnya, "Oh tentu aku mau bila dapat berguna bagiengkau, Tuan. Tapi ceritakan apa yang akan kau lakukan untuk membuatkumenjadi pipa saluran air itu."


Sang petani menjawab, "Pertama, aku akan menebangmu untuk memisahkanengkau dari rumpunmu yang indah itu. Lalu aku akan membuangcabang-cabangmu yang dapat melukai orang yang memegangmu. Setelah ituaku akan membelah-belah engkau sesuai dengan keperluanku. Terakhir akuakan membuang sekat-sekat yang ada di dalam batangmu, supaya air dapatmengalir dengan lancar.Apabila aku sudah selesai dengan pekerjaanku, engkau akan menjadi pipayang akan mengalirkan air untuk mengairi sawahku sehingga padi yangkutanam dapat tumbuh dengan subur."


Mendengar hal ini, batang bambu lama terdiam..... , kemudian diaberkata kepada petani, "Tuan, tentu aku akan merasa sangat sakitketika engkau menebangku. Juga pasti akan sakit ketika engkau membuangcabang-cabangku, bahkan lebih sakit lagi ketika engkau membelah-belahbatangku yang indah ini, dan pasti tak tertahankan ketika engkaumengorek-ngorek bagian dalam tubuhku untuk membuang sekat-sekatpenghalang itu. Apakah aku akan kuat melalui semua proses itu, Tuan?"


Petani menjawab batang bambu itu, " Wahai bambu, engkau pasti kuatmelalui semua itu, karena aku memilihmu justru karena engkau yangpaling kuat dari semua batang pada rumpun ini. Jadi tenanglah."Akhirnya batang bambu itu menyerah, "Baiklah, Tuan. Aku ingin sekaliberguna bagimu. Ini aku, tebanglah aku, perbuatlah sesuai dengan yangkau kehendaki."


Setelah petani selesai dengan pekerjaannya, batang bambu indah yangdulu hanya menjadi penghias halaman rumah petani, kini telah berubahmenjadi pipa saluran air yang mengairi sawahnya sehingga padi dapattumbuh dengan subur dan berbuah banyak.


Pernahkah kita berpikir bahwa dengan masalah yang datang silihberganti tak habis-habisnya, mungkin Allah sedang memproses kita untukmenjadi indah di hadapan-Nya?


Sama seperti batang bambu itu, kita sedang ditempa, Allah sedang membuat kita sempurna untuk di pakaimenjadi penyalur berkat. Dia sedang membuang kesombongan dan segalasifat kita yang tak berkenan bagi-Nya. Tapi jangan kuatir, kita pastikuat karena Allah tak akan memberikan beban yang tak mampu kita pikul.


Jadi maukah kita berserah pada kehendak Allah, membiarkan Dia bebasberkarya di dalam diri kita untuk menjadikan kita alat yang bergunabagi-Nya? Seperti batang bambu itu, mari kita berkata, " Ini aku Allah,perbuatlah sesuai dengan yang Kau kehendaki."




kisah menarik dari postingan teman.


Teguh

Suatu kali, seorang teman yang baru saya kenalbertanya tentang nilai kebaikan.Sebenarnya saya juga bingung dengan pertanyaan itu,tapi saya mencoba mengambil hikmah dari pertanyaan itu. Ia bertanyabagaimana bisa tetap menjadi 'baik'di tengah lingkungan yang sangat 'jahat'? Kita adalah lingkungan yang ada disekitar kita, Kita terbentuk karena lingkungan-lah yang membentuk kita menjadi seperti itu. Dogma ini memang sangat berkembang pesat, sehingga seperti sebuah keniscayaan untuk mempertahankan sebuah nilai yang berlawanan atau tidak sejalan dengan nilai-nilai yang berkembang disekitar kita.



Tetapi, ada pengecualian yang saya temukan. Nilai kebaikan yang tertanam. Bila nilai ini sudah menjadi bagian dari kita,bukan hanya sebuah doktrin yang melekat, tetapi nilai ini adalah kita. Kita muncul karena nilai ini. Nilai kebaikan. Sungguh tidak mudah untuk mempertahankan sebuah nilai kebaikan di dalam lingkungan yang memang tidak menghendaki munculnya nilai kebaikan itu. Tapi, disitulah perbedaanya.Perbedaan tentang kualitas diri.


Sejauh mana nilai-nilai itu terhujam di hati. Sebesar apa nilai-nilai itu melingkupi pikiran kita, dan sejauh mana ia menghiasi hari-hari kita. Kekuatan ikatan pada kebaikan yang telah terbentuk kadang merenggang, dan kadang erat. Disanalah kita untuk terus menjaganya. Dengan apapun yang kita bisa. Perubahan memang mudah, tapi mempertahankan itulah nilai kebaikan yang sulit.
Saya ingin mencoba belajar dari ikan. Yang menjaga dirinya di tengah keasinanan laut. Karena ia hidup bersama dengan yang lainnya, dan ia patuh pada sunnatullahnya


~hafizhurrahman.
November 2005
Untuk saudara-saudaraku
yang tetap teguh bersama
nilai kebaikannya.

Maaf dan Surga…


"Tiga perkara, barang siapa melakukannya, Ia akan dihisab oleh Allah dengan mudah dan akan dimasukkan ke surga dengan rahmatNya: Memberi kepada orang yang bakhil kepadamu, menyambung hubungan kepada orang yang memutuskannya darimu, dan memaafkan orang yang mendzalimimu! Bila hal itu kau lakukan, engkau masuk surga!"

(HR Bazzar-Thabrani)
Memberi,
Kekuatan terbesar untuk terus istiqamah,
Karena tujuannya bukan untuk balasan,
Tapi karena cinta!
Bersilaturrahim,
Kekuatan terbesar untuk terus istiqamah,
Merajut benang ukhuwah di Jalan-Nya,
Hanya karena cinta!
Memaafkan…
Sungguh berat, percayalah! Sangat sulit!
Mengingat bersitan memori yang pahit!
Selalu melintas tanpa kata maaf!
Mengapa kata ‘Maaf’ begitu berat?
Entahlah, mungkin itulah kekuatan terbesar untuk menerima,
Belum cukupkah surga dan bidadarinya?
Pantaskah hamba ini menerimanya?
Kalau bukan kata ‘maaf’ dari Rabbnya,
Sungguh berat, hanya karena cinta pada Ar-Rahmaan...
"Jadilah engkau pemaaf..." (Al-A’raf : 199)

~hafizhurrahman.
bulan separuh di Syawal 1426

Da’wah, sebuah kelembutan

“Maka disebabkan rahmat dari Allah, kamu bisa lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap kasar, mereka tentu akan menjauhkan diri dari sekeliling kamu.”
(Ali-Imran:159)

Terkadang ada kecemasan dan kegundahan tersendiri saat melihat beberapa saudara kita yang berda’wah dengan jalan yang berbeda dengan yang kita lakukan. Dengan menggunakan kekerasan dan tidak jarang adanya perusakan terhadap barang-barang pembawa kemaksiatan. Bahkan mungkin ada beberapa ikhwah yang menganggap hal tersebut merupakan bentuk aplikasi dari da’wah dengan ‘tangan’ yang diperintahkan oleh rasulullah saw.


Hal tersebut pun pernah terjadi saat masa Imam Hasan Al-Banna, beliau mengeluarkan fatwa untuk melarang tindakan pengrusakan yang dilakukan oleh sekumpulan orang-orang shalih kepada tempat-tempat khamr yang sudah membanjiri Mesir, bahkan mengelilingi masjid. Sebuah tindakan yang mungkin kita anggap sebuah hal yang aneh. Tetapi coba simak apa yang diutarakan oleh Ahmad Hussain, salah satu dari ‘perusak’ tersebut.

“Sungguh aku masih teringat masa mudaku, ketika itu sekelilingku terdapat para pemuda yang aktif dalam beragama. Pada waktu itu tempat-tempat penjualan minuman keras ada dimana-mana, bahkan di depan sekolah dan disekitar masjid-masjid. Maka tergugahlah kita untuk memberantas semua itu dengan kekuatan, karena kami ingin melaksanakan sabda rasulullah. “Barang siapa diantara kamu melihat kemungkaran, maka ubahlah ia dengan tanganmu..” Lalu sebagian pemuda di sekitar kami bertekad untuk menyerbu dua atau tiga tempat penjualan minuman keras. Kami memecahkan beberapa botol khamr, serta menumpahkan beberapa galon. Akhirnya suasana menjadi kacau-balau, dan insiden ini dianggap melanggar undang-undang Negara. Kemudian pemerintah saat itu memusuhi kami dengan permusuhan yang keras. Hal tersebut tidak membuat kami heran, karena memang pemerintahan saat itu dikuasai oleh penjajah Inggris yang menguasai Mesir.

Akan tetapi yang membuat saya terkejut dan merasa pesimis adalah makalah (fatwa) yang ditulis oleh Imam Syahid Hasan Al-Banna. Beliau ternyata menolak cara da’wah yang telah kami praktekan. Akhirnya sekarang saya baru tahu bahwa beliau berbicara tentang sesuatu yang benar-benar islami. Baik secara ruh maupun nash, sebagaimana itu tampak jelas setelah saya pelajari. Tetapi pada saat itu, saya sangat marah, dan bahkan saya menganggap keberadaanya sebagai sebuah rekayasa politik. Dan saya pergi sendiri untuk menelaah kembali –ketika saya berada di dalam penjara—seluruh fatwa para fuqaha tentang batas-batas amar makruf nahi mungkar, sejauhmana hak seorang muslim biasa (rakyat) untuk mengubah dengan tangan. Ternyata saya dikejutkan oleh ijmak (konsensus) para ulama fiqih empat mahzab bahwa mengubah kemungkaran dengan tangan itu termasuk hak waliyul amri (pemerintah) saja dan bukan hak individu. Saya benar-benar dikejutkan oleh kesepakatan itu, dan secara perlahan tapi pasti saya mencoba untuk keluar dari bencana yang saya rasakan. Saya berbicara dengan beberapa pihak tentang masalah ini, dan akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa saya puas dengan fatwa Hasan Al-Banna itu. Sampai-sampai saya merasa benci dengan kekerasan sikap saya dahulu, dan saya selalu memberi peringatan kepada rekan-rekan muda tentang masalah ini.”

Sungguh teladan yang banyak sekali bisa kita lihat dari sosok Rasulullah yang menjadi sosok yang lembut tapi tetap kuat dalam kesungguhannya merubah suatu kaum dengan da’wah yang dibawanya. Begitu juga dengan beberapa kisah tentang kelembutan para utusan Allah yang lain. Sebagai sebagian kecil dari pembawa risalah ini, pantaskah kita bersikap kasar pada objek da’wah kita?


“Sesungguhnya Allah itu lembut, menyukai kelembutan, meridhainya, dan memberinya bantuan yang tidak Dia berikan kepada tindak kekerasan.”
(Diriwayatkan Ath-Thabrani dari Mi’dan)



~hafizhurrahman.
ditulis tanggal 18 Juli 2006

Sunday, June 10, 2007

Awal dari semuanya : niat

Beberapa waktu yang lalu, saya sempat memandang rendah dan bahkan terkadang tidak mengerti dengan istilah ini. Niat. Maksud. I’tikad. Saya sempat menganggap remeh hal besar ini. Waktu masih belajar agama –dua jam seminggu- di sekolah dulu, makna itu saya sederhanakan sesederhana-sederhananya. Kalau kita sudah sholat maka pastinya kita sudah berniat untuk sholat bukan? Sudah bermaksud untuk sholat tentunya. Jadi, simpelnya: setiap hal yang kita lakukan pasti sudah terlebih dahulu ada kemauan. Maka selesai sudah syarat nya, sudah ada kemauan, dan ketika sudah dikerjakan maka otomatis niat nya sudah sekalian. Pemahaman itu muncul saat guru saya memberikan kami kebebasan –sesuai pemahaman dan pilihan masing-masing- untuk berniat sholat dengan cara didzohirkan atau cukup di dalam hati. Pikiran saya waktu itu simpel sekali, tentunya daripada harus nambah hafalan panjang-panjang waktu tes praktek agama maka saya pilih yang kedua. Dari sanalah saya menyamaratakan dan menyusutkan nilai sebuah niat.

Ternyata, niat tak sesimpel yang dulu saya kira. Bahkan itu sangat rumit. Bahkan lebih rumit daripada menghafal niat sholat yang dulu saya hindari. Niat adalah sebuah amalan hati. Suatu hal yang mendasari segala sesuatu yang kita lakukan. Ia lah pemimpin kita yang selalu kita ikuti. Ia begitu berkaitan erat dengan keikhlasan. Niat lah yang mendasari keikhlasan. Dan ikhlas adalah syarat mutlak diterimanya suatu amal. Apa yang kita lakukan mungkin saja sama. Tapi siapa yang tau apa sebenarnya niat dalam hati? Hanya kita dan Allah Ta’ala.

Niat tidak hanya ada diawal, tapi ia mengiringi bahkan sampai amal tersebut telah selesai kita lakukan. Mungkin pada awalnya niat kita lurus, tapi setelah dipertengahan jalan bisa saja membelok. Syaithan begitu cerdas, dengan segala upaya menjatuhkan kita dari beramal. Mungkin kita bisa tetap bergerak, tapi siapa yang memastikan niat kita tetap sama, tetap lurus hanya karena Allah? Jangan-jangan malah ia hanya menjadi pemanis dalam kata-kata kita. Naudzubillahi mindzalik.

Sebelum jauh melangkah, mari kita kembali ke hati. Sejenak mempertanyakan dan kembali meluruskannya. Sungguh beruntung orang-orang yang ikhlas. Yang terus bergerak dengan niat yang selalu terjaga.

Sesungguhnya amal-amal perbuatan tergantung niatnya, dan bagi tiap orang apa yang diniatinya. Barang siapa hijrahnya karena Allah dan rasulNya maka hijrahnya kepada Allah dan rasulNya. Barang siapa hijrahnya untuk meraih kesenangan dunia atau menikahi wanita, maka hijrahnya adalah kepada apa yang ia hijrahi.

(HR. Bukhari-Muslim)